Industri Migas adalah industri yang sangat menguntungkan dan juga sangat beresiko tinggi, maka dari itu
keputusan untuk mendapatkan FID sangatlah sulit hingga perubahan yang sangat drastis
harus dilakukan untuk menurunkan resiko tersebut. FID merupakan dokumen rahasia
perusahaan. Di dalamnya terdapat banyak hal, baik segi teknikal maupun
finansial, mulai dari struktur pembiayaan, nilai CAPEX dan OPEX, persetujuan
harga jual migas, rasio pengembalian modal, basic design untuk facility, proses
dan sebagainya hingga perkiraan produksi. FID berdasar pada plan of development (POD) yang telah disetujui oleh pemerintah.
Fase Development (Pengembangan)
Jika FID telah disetujui, maka
kita akan naik pada tahap selanjutnya yakni tahap development. Kita biasa
menyebut fase ini dengan istilah Engineering, Procurement dan Construction
(EPC). Fase ini merupakan tahap eksekusi projek dimana desain dasar akan
didetailkan, equipment akan dibeli dan kegiatan konstruksi dilakukan hingga
plant bisa beroperasi dan berproduksi secara komersial.
Pekerja proyek Migas - Cepu Block |
Pada tahap ini kontraktor KKS
akan melakukan tender atau direct offer kepada service company untuk melakukan
kegiatan EPC ini. Beberapa contoh service company seperti Rekind, Tripatra, JGC
Indonesia, maupun asing seperti Saipem, Samsung Engineering dan sebagainya.
Biasanya service company atau lebih spesifik kita sebut sebagai EPC company ini
akan membentuk sebuah konsorsium dengan campuran antara EPC lokal dan asing
yang pembagian porsi pekerjaannya sesuai dengan agreement. Contoh yang selama ini terjadi misalnya, untuk equipment yang
bisa dibuat secara lokal, misalkan tangki maupun vessel biasanya akan
dikerjakan oleh EPC lokal, sedangkan alat-alat paket misalkan kompresor akan
diserahkan kepada EPC asing. Ini dimaksudkan karena dalam kontrak biasanya disebutkan bahwa suatu proyek harus memiliki porsi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam jumlah tertentu sebagai upaya untuk melibatkan industri domestik.
Kadangkala, kita akan menemukan dalam desain engineering beberapa alat yang
dibangun pada kondisi yang akan datang (future) mengikuti perkembangan sumur.
Misalkan, Future Booster Compressor yang baru dipasang pada periode tiga - lima tahun setelah plant beroperasi. Hal ini dikarenakan sumur telah kekurangan energi untuk bisa mengekstrak hidrokarbon. Maka diperlukan sebuah modifikasi untuk bisa mempertahankan volume produksi. Hal semacam ini banyak kita lihat pada wilayah kerja yang sudah mature yang biasa disebut secondary recovery.
Rencana pengembangan berisi
jumlah sumur yang harus dibor untuk mendapatkan tingkat produksi yang
diinginkan, cara untuk mengekstrak fluida dari reservoir, cara separasi minyak
dan gas, sistem treatment untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan,
survey terhadap lingkungan sekitar misalkan curah hujan, cuaca, kualitas air
dan masih banyak hal lainnya. Tahap pengembangan ini bisa berlangsung antara 3
– 6 tahun sesuai dengan lokasi, jenis migas dan juga skala produksi. Pada akhir
tahap ini, kegiatan produksi migas bisa dimulai, yang dikenal dengan sebutan
“first oil”.
Fase Production (Produksi)
First Oil ini merupakan kegiatan yang juga penting yang menandakan
awal mula suatu wilayah kerja bisa menghasilkan produk yang komersil. Pada
first oil ini, pemerintah dan kontraktor KKS memperoleh bonus yang disebut
sebagai first tranche petroleum (FTP) sebesar 20% dari jumlah produksi yang
dibagi sesuai kontrak sebelum dikurangi oleh biaya-biaya lain. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk medapatkan porsi keuntungan dari pengembangan wilayah kerja yang dilakukan karena selanjutnya hasil dari produksi digunakan untuk menutup biaya investasi yang telah dikeluarkan. Selain itu,
first oil ini juga memiliki arti penting bagi kontraktor KKS untuk menunjukkan
bahwa perusahaannya merupakan perusahaan yang prospektif di mata investor
karena sudah mampu berproduksi.
Waktu produksi dari sebuah
wilayah kerja bisa bervariasi antara 15 hingga 30 tahun dan bisa diperpanjang
hingga mencapai 50 tahun atau lebih sesuai dengan besarnya reservoir yang
ditemukan. Beberapa fase produksi yang dilalui sebuah wilayah kerja dirangkum
sebagai berikut:
- Ramp-up è Kegiatan awal produksi bisa disebut sebagai kegiatan “start-up” dimana akan dilakukan ramp-up atau penaikan jumlah produksi sesuai dengan desain.
- Plateau è Fase produksi selanjutnya dikenal dengan tahap stabilisasi atau dikenal dengan sebutan “plateau”. Tahap ini berhubungan dengan produksi maksimum yang bisa dihasilkan oleh sebuah wilayah kerja.
- Injection phase è Pada tahap ini telah dilakukan injeksi terhadap reservoir yang digunakan untuk membantu perolehan hidrokarbon dari dalam sumur sehingga bisa untuk mempertahankan volume produksi. Beberapa diantaranya, melalui pumping, water flooding, dan sebagainya
- Depletion è Pada periode ini adalah akhir dari tahap produksi dimana terjadi penurunan produksi hidrokarbon secara progresif disebabkan volume hidrokarbon dalam reservoir telah berkurang sehingga plant tidak bisa dijalankan dan/ atau secara komersial tidak menguntungkan.
Production profile |
Tahap akhir dari sebuah wilayah kerja adalah
tahap restorasi atau abandonment. Yakni ketika produksi hidrokarbon sudah tidak
komersial, maka reservoir harus ditinggalkan (abandonment) dan/ atau
direhabilitasi. Abandonment bisa berlangsung antara satu hingga tiga tahun sesuai
dengan besarnya instalasi.
Beberapa kegiatan yang dilakukan
oleh perusahaan minyak pada saat abandonment, seperti :
- Membongkar fasilitas seperti platform
- Meletakkan sumur pada kondisi yang aman, seperti pemasangan plug pada sumur yang sudah tak berproduksi
- Membersihkan, menghilangkan polusi dan merehabilitasi site
Jika melihat dari berbagai macam
tahap lifecycle sebuah wilayah kerja diatas, ironisnya kita hanya bisa mengerti
secara penuh mengenai sebuah wilayah kerja pada bagian akhir dari siklus
hidupnya
Sebuah reservoir migas tidak bisa
kita ibaratkan sebuah tangki. Artinya kita bisa mengambil isinya dengan jumlah
biaya energi yang sama hingga habis. Tetapi, ia lebih mirip dengan busa. Pada
saat, busa masih mengandung banyak cairan, ia bisa mengeluarkan isinya tanpa
kita perlu mengeluarkan banyak energi. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah
cairan yang terkandung dalam busa tersebut berkurang. Maka dibutuhkan lebih
banyak energi untuk bisa mengekstraksi kandungan cairan yang ada dalam busa
dengan cara diperas. Ini identik dengan cara-cara oil recovery baik secara
pumping dan sebagainya. Hingga akhirnya sebuah reservoir migas tidak bisa
menguntungkan secara komersil karena biaya produksinya jauh lebih tinggi
daripada harga jual. Sehingga untuk sumur-sumur tua, biaya produksinya juga
relative tinggi. Tidak semua migas bisa diekstraksi dari dalam reservoir, kita kenal dengan sebutan recovery factor. Artinya adalah perbandingan antara migas yang bisa diekstrak dengan keseluruhan migas yang terkandung dalam sebuah reservoir.
Di lain hal, meskipun usianya bisa jadi sudah puluhan tahun, sumur-sumur
tua bisa jadi masih berproduksi meskipun dipandang tidak komersil. Hal ini bisa
terjadi karena banyak hal. Misalkan, karena biaya eksplorasi sumur baru terlalu
tinggi dengan tingkat resiko yang juga tinggi, campur tangan pemerintah sebagai
upaya strategis untuk menjaga kedaulatan energi, dan sebagainya Dampaknya secara tidak langsung
adalah meskipun kita mengetahui bahwa migas merupakan sumber energi tidak
terbarukan, tetapi tren perkembangan jumlah cadangan minyak global justru
tambah mengalami kenaikan.
Global crude oil reserves |
Tentu saja hal ini sangatlah unik karena jumlah
konsumsi migas yang terus naik dari tahun ke tahun harusnya malah membuat
cadangan minyak berkurang. Namun ternyata tidak halnya demikian. Salah satu
faktor yang berperan penting adalah faktor berkembangnya teknologi misalkan
dalam hal ekstraksi minyak untuk reservoir unconventional dan juga semakin
berkembangnya teknologi untuk ekstraksi minyak di laut dalam (deep offshore).
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete