Tulisan kali ini menjelaskan mengenai jenis kontrak kerjasama Migas untuk melengkapi pemahaman kita akan siklus hidup kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Apa yang akan ditampilkan dalam tulisan ini merupakan slide presentasi yang dibawakan oleh executive advisor dari SKK Migas, namun tidaklah secara penuh mewakili perspektif dari intitusi.
Presentasi tersebut bisa didownload disini
Dalam pengelolaan sebuah pertambangan, pemerintah menggandeng pihak lain, bisa jadi swasta ataupun BUMN yang bisa memiliki bentuk kontrak kerjasama bermacam-macam. Macam perjanijian antara pemerintah dengan pihak lain (kontraktor) dibagi menjadi tiga macam, yakni :
1. Concession
2. Production Sharing Contract
3. Service Contract
Alur skematik bentuk kontrak kerjasama tersebut bisa dilihat pada gambar dibawah ini :
Bentuk kerjasama concession atau konsesi adalah bentuk yang terlebih dahulu ada dalam pengelolaan migas. Konsesi adalah bentuk kontrak perjanjian dalam industri migas antara negara dengan operating company untuk mengeksplorasi sumber daya migas.
Perusahaan yang
beroperasi, baik bisa satu badan ataupun berbentuk konsorsium, harus membeli
lisensi untuk bisa mengeksplorasi sebuah wilayah kerja. Selain itu, keuntungan pemerintah juga didapat dari biaya
konsesi yang jumlahnya berdasarkan jumlah dan kualitas migas yang diproduksi, yang harus
dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada negara yang penentuan harganya telah ditetapkan
pada saat penandatanganan konsesi.
Pada prakteknya, negara produksi akan menerima biaya konsesi ini tidak bergantung pada untung maupun ruginya operating company. Semua biaya dan resiko diserahkan kepada operating company, termasuk juga keuntungan. Jatah untuk pemerintah akan selalu ada.
Yang menjadi polemik antara negara produksi dengan operating company adalah harga migas yang
fluktuatif yang bisa menyebabkan kontrak kerjasama menjadi tidak seimbang. Yakni, ketika harga migas melonjak tajam hingga mencapai 100 dollar per barrel,
sedangkan biaya konsesi tetap karena sudah ditentukan diawal.
Kenapa hal ini menjadi sangat penting?
Ingat, migas adalah komoditas strategis. Semua negara pasti butuh migas untuk menunjang kegiatan perekonomiannya. Jadi, negara juga harus bisa memproduksi migas. Jika belum bisa mencukupi kebutuhannya, negara harus membeli/ mengimpor dari pihak lain. Harga migas yang tinggi, tanpa adanya subsidi pemerintah, akan menyebabkan inflasi. Sementara, keuntungan yang didapat dari suatu wilayah kerja migas masihlah tetap. Akibatnya, bisa terjadi defisit anggaran. Uang yang harusnya dibuat untuk pembangunan, harus dialokasikan sebagai subsidi untuk mencegah inflasi.
Hal ini tentu saja memicu negara produksi untuk
melakukan re-negoisasi yang tentunya akan sulit untuk diterima operating
company. Hal ini dikarenakan, tidak hanya akan mengurangi margin keuntungan operating company yang naik, tetapi juga tidak adanya jaminan bahwa biaya konsesi baru bisa direvisi kembali ketika harga migas turun selama sisa periode konsesi.
Naiknya harga migas secara signifikan dan
juga sangat berfluktuasi bergantung pada banyak faktor. Hal ini dipandang tipe kontrak konsesi tidaklah fleksibel, dan beralih pada sistem perjanjian
kontrak yang lain. Salah satunya adalah production
sharing contract (PSC).
PSC merupakan jenis
perjanjian terkait pembagian persentasi hasil produksi migas antara pemerintah
dan pihak lainnya yang terlibat, yang biasa disebut sebagai Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKS). Hal ini bisa dilakukan kalau pemerintah juga terlibat dalam
kegiatan industri migas tersebut. Maka, untuk menunjang hal tersebut, ditunjukklah
National Oil Company (NOC), misalkan Pertamina, Saka Energi, dan sebagainya
untuk ikut serta sebagai bagian dari kontraktor KKS yang memilki participacing
interest dalam pengelolaan suatu wilayah kerja bersama dengan International Oil Company (IOC). Dengan demikian, adanya
transfer pengetahuan ke NOC oleh IOC dan juga adanya beberapa kontrol terhadap
pengembangan wilayah kerja menjadi fungsi lain dari perjanjian PSC ini. Kelak, jika kontrak KKS sudah habis dan wilayah kerja masih produktif, maka NOC bisa didorong untuk menggantikan peran IOC.
Peran IOC lebih dominan
dalam menentukan keputusan terkait strategi pada waktu fase eksplorasi. Dalam
fase development, peran NOC mulai terlibat dan dalam pengoperasian diharapkan
mulai ditunjukkan kontribusi lebih NOC dalam pengelolaan suatu wilayah kerja. Dalam
menjalankan PSC ini, Indonesia pernah melakukan dengan menggunakan dua cara,
yakni dengan menggunakan sistem cost recovery (pengembalian biaya) dan gross
split yang digunakan pada tahun 2017.
Mari kita lihat skematik
dibawah ini untuk melihat kedua perbedaan antara PSC gross split dan juga cost
recovery:
Pada skema PSC cost recovery, hasil migas harus dipotong untuk pengembalian investasi sebelum menjadi profit oil atau keuntungan yang di-share antara pemerintah dan kontraktor. Meskipun, persentase pemerintah besar dalam pembagian tersebut, bisa jadi secara keseluruhan akan menjadi kecil karena pemerintah harus membayar cost recovery kepada kontraktor KKS. Maka dari itu, skema cost recovery dipandang bisa menjadi perdebatan dan kesalahpahaman akibat biaya-biaya apa saja yang bisa masuk dalam cost recovery.
Terbukti, bisa lihat contoh kasusnya dalam tautan berikut :
Hal ini tentu
saja menimbulkan sesuatu yang kontra-produktif. Namun, pada
skema cost recovery perlu diketahui bahwa hanya wilayah kerja
yang dinilai komersilah yang akan mendapatkan cost recovery. Pertanyaan
yang mungkin timbul adalah apa yang menentukan suatu wilayah kerja bernilai
komersil? Apakah semata-mata hanya mengandalkan jumlah cadangan migasnya yang
terbukti berlimpah?
Kita
layaknya harus kembali lagi kepada hal yang menyebabkan perubahan kontrak dari
konsesi ke tipe PSC. Hal ini juga mendasari perubahan PSC tipe cost recovery
menjadi gross split.
bersambung ...
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete