Gambar diatas menunjukkan tren investasi di bidang migas pada tahun 2010-2015 yang dihimpun oleh IFPEN, sebuah institusi pendidikan prancis dalam bidang perminyakan dan energi terbarukan. Dari data tersebut, bisa kita lihat bersama prediksi dari para analis migas yang memperkirakan bahwa pada tahun 2015, investasi migas akan terus naik hingga
menyentuh angka 762 milyar dolar. Faktanya, malah terjadi penurunan sebesar 30
persen pada tahun tersebut. Jadi, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa nyatanya analis migas tidak bisa memprediksi secara tepat
mengenai perkembangan investasi migas.
Apa penyebab turunnya
investasi migas di tahun 2015 tersebut?
Lagi-lagi yang
menyebabkan adalah harga jual migas. Ilmu ekonomi yang sederhananya adalah pengaruh supply and
demand. Kita mengetahui harga migas meroket pada rentang tahun 2010 hingga akhir 2013.
Tercatat, harga migas mencapai lebih dari 100 dolar perbarel sebelum akhirnya nyungsep
akibat melimpahnya minyak yang berasal dari produsen minyak unkonvensional.
Ada sisi menarik yang bisa kita cermati ketika melihat transisi harga migas yang tadinya meroket kemudian jatuh bebas tersebut yang kaitannya dengan perilaku para pelaku migas. Ketika harga minyak
masih tinggi, otomatis hal ini akan menarik banyak investor untuk berinvestasi.
Maka, otomatis, nilai investasi migas akan naik dan membuat bisnis migas menjadi ramai.
Hal ini serta merta akan mendorong biaya pengeluaran menjadi semakin mahal, misalkan naiknya harga sewa alat, naiknya jasa manpower dan sebagainya. Lagi-lagi, ini perkara supply and demand. Namun, mengingat harga minyak
yang tinggi, secara tidak langsung akan membuat potensi suatu wilayah kerja
menjadi lebih mudah untuk dikembangkan. Berapapun besar biaya yang dikeluarkan, jika dihitung, kecenderungan cashflow-nya akan positif karena didukung dengan tingginya harga migas. Maka, suatu wilayah migas bisa naik menuju ke fase pengembangan. Ingat, migas adalah industri strategis dan negara juga membutuhkan migas untuk menopang segala aktifitasnya.
Jika memang dianggap komersil dilihat dari jumlah cadangan terbukti dan didukung oleh harga migas yang tinggi, maka cost recovery harus dilaksanakan oleh negara dengan jumlah yang naik berkali lipat karena kondisi harga migas yang tinggi memicu pengeluaran yang juga tinggi untuk melakukan eksplorasi. Toh, jika secara hitung-hitungan cashflow-nya masih positif, maka berapapun biaya yang dikeluarkan akan kembali -break even point. Namun, hal ini menimbulkan polemik ketika harga migas mengalami fluktuasi naik-turun, meskipun dalam hitungan tahun. Salah prediksi bisa menimbulkan sebuah hal yang bisa membahayakan. Cost recovery pun bisa menjadi buah simalakama dalam rangka menyikapi harga migas yang tidak stagnan tersebut. Bisa kita lihat contohnya seperti yang terjadi di Venezuela.
Jadi, jangan salah ketika banyak pelaku migas juga memonitor pergerakan harga migas karena hal ini turut menentukan masa depan mereka. Saya memiliki seorang teman yang bekerja dalam bidang pengeboran yang terpaksa harus diberhentikan karena sepinya proyek akibat harga migas turun. Kita bisa lihat bahwa migas merupakan sebuah industri yang strategis, namun disisi lain, ketergantungan negara akan penghasilan dari migas bisa membawa sebuah dampak yang negatif.
Pemerintah Indonesia
pada tahun 2017, mengembangkan skema baru PSC yang disebut sebagai Gross Split.
Gross split menghilangkan cost recovery dan pemerintah mendapatkan hasil berdasarkan perjanjian persentase jumlah produksi kotor. Segala biaya yang dikeluarkan oleh Kontraktor KKS
menjadi tanggung jawab kontraktor KKS. Yang pasti, jatah pemerintah ada dan
tetap menurut persentasi hasil produksi.
Sederhanya, jika bagi hasil 50 : 50, hasilnya dua,
maka satu untuk pemerintah. Jika hasilnya 10, maka lima untuk pemerintah.
Penentuan Gross split
berdasarkan beberapa ketentuan variabel yang akan menentukan berapakah share
yang diterima oleh pemerintah. Bisa saja nilai share pemerintah lebih kecil
ataupun lebih besar tergantung daripada kondisi wilayah kerja.
Dengan tidak adanya
penghitungan cost recovery, diharapkan lebih mempercepat proses pengembangan
suatu wilayah kerja karena tidak ada hitung-hitungan cost recovery. Oleh karena
itu, hal ini membuat administrasi menjadi lebih mudah dan kontraktor diharapkan bisa lebih efisien dalam
pengeluaran sehingga diharapkan bisa menggunakan produk lokal.
Tetapi, akankah gross split ini menarik dimata investor? Mengingat semua biaya akan dibebankan di tangan investor ditengah turunnya harga migas saat ini. Di sisi lain, melalui gross split ini, NOC secara
tidak langsung akan dituntut untuk bisa mengelola migas secara lebih
mandiri. Migas adalah industri strategis yang sumbangan terhadap kedaulatan negara cukup besar. Jika NOC belum memiliki kemampuan, maka akan diserahkan
kembali kepada IOC, tentu saja ketergantungan ini akan membuat IOC lebih memiliki
nilai tawar yang bisa membuat kebijakan ini bisa berpotensi untuk mengalami perubahan di masa depan.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete