Tuesday, September 26, 2017

Plant Operation, part-4

Beberapa fitur yang dimiliki controller dalam rangka untuk memudahkan operator dalam menjaga stabilitas operasi dalam sebuah plant

1. Fail Safe Position
Untuk dapat mengontrol jalannya sebuah plant, para operator memiliki work station yang ditempatkan dalam control room. Dalam work station akan ditampilkan sebuah layar yang merepresentasikan segala kondisi operasional plant yang sedang berjalan dan bisa dikendalikan. Hal ini biasa disebut sebagai Human Machine Interface (HMI) jika peralatannya disuplai oleh Honeywell atau Human Interface Station (HIS) jika supliernya adalah Yokogawa. Dalam HMI/HIS, kita bisa mendapatkan display dari operasi yang sedang berjalan. Untuk control valve, display output untuk mengindikasikan bahwa valve terbuka penuh adalah 100% dan tertutup penuh adalah 0%.
HMI/HIS
Fail safe position bermakna apa yang terjadi pada posisi valve jika ada gangguan eksternal misalkan, adanya shutdown yang terpicu, hilangnya tekanan udara instrument dan adanya inhibit yang menghalangi. Jika dalam sebuah operasi, tiba-tiba satu dari beberapa hal tersebut terjadi, maka posisi valve akan berubah menjadi Fail Safe Position sesuai dengan filosofi proses. Fail Safe Position bisa berupa Fail Open (FO) atau Fail Closed (FC). Dalam kasus pada part-3, contoh 1 dan 2, posisi fail safe control valve tersebut adalah FO. Fail Safe position untuk control valve bisa kita lihat di dalam PID yang biasanya ditulis dibawah control valve.

Pada prakteknya, jika terjadi sebuah peristiwa yang mengakibatkan kondisi valve pada fail safe, maka secara otomatis, control yang pada mulanya adalah AUTO akan berpindah posisi MAN dan bukaan valve akan mengikuti setting fail safenya, jika FC, maka bukaannya adalah 0% dan sebaliknya, jika FO maka akan terbuka full 100%.

2. Crippled Mode
Ada kalanya dalam sebuah operasi, transmitter yang digunakan untuk mengukur controlled variable mengalami sebuah masalah. Akibatnya, kita tidak bisa memonitor parameter operasi yang sedang berjalan. Jika closed loop kita berada dalam posisi AUTO, apa yang terjadi pada control valve, jika tiba-tiba alat pengukur kita fails?

Untuk mengatasi hal ini, controller saat ini dilengkapi dengan fungsi crippled mode. Dalam mode ini, jika tiba-tiba alat pengukur fail atau nilainya melebihi dalam batas range yang telah ditentukan, maka secara otomatis controller akan berpindah mode dari AUTO menjadi MAN. Dan, untuk mempertahankan kondisi operasi agar transfer yang terjadi adalah bumpless, maka biasanya bukaan valvenya adalah pada posisi terakhir atau keep last position.

Untuk menunjukkan kepada operator bahwa telah terjadi kegagalan dalam controller, secara otomatis sistem akan mengaktifkan alarm untuk memberitahu kepada operator supaya ia bisa mengambil tindakan selanjutnya. 

3. Set-Point Tracking

Pada saat operator menjalankan controller menggunakan mode MAN, seperti telah diketahui, ia memasukkan nilai langsung kepada OP. Setiap perubahan terhadap nilai OP, akan membuat perubahan terhadap nilai PV karena ia didapat dari hasil pengukuran. Tanpa fungsi Set-Point Tracking, nilai SP tidak akan berubah. Jika controller dirubah modenya dari MAN menjadi AUTO, control valve akan secara otomatis melakukan penghitungan untuk mendapatkan nilai OP yang baru. Jika kalkulasi OP yang baru hasilnya tidak sama dengan OP lama hasil adjustment operator, maka akan terjadi “bump” pada operasi.


Fungsi SP Tracking ini adalah untuk membuat SP mengikuti nilai PV ketika controller dibuat MAN, sehingga ketika mode dirubah dari MAN menjadi AUTO, tidak akan terjadi “bump” karena nilainya sudah sama. Pada prakteknya, tidak semua controller memiliki fungsi SP Tracking ini aktif.

bersambung ...

Monday, September 18, 2017

Plant Operation, part-3

Untuk menjaga agar proses berjalan dengan smooth dan safe, selain daripada beberapa mode operasi yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah controller juga memiliki fitur-fitur dalam rangka untuk memudahkan operator dalam menjaga stabilitas operasi dalam sebuah plant. Mari kita kupas satu persatu.

Control Action – Direct or Reverse

Ketika sebuah alat pengukur mendeteksi adanya sebuah disturbansi atau gangguan yang mengakibatkan nilai PV menjauhi dari nilai SP, maka sebuah controller akan memberikan signal output untuk mengendalikan error tersebut. Aksi kontrol terhadap error yang diberikan oleh controller memiliki satu dari dua kemungkinan, Direct atau Reverse.
Direct - Reverse, Control Action
Sesuai dengan gambar diatas, jika nilai PV naik melebihi nilai SP dan controller menaikkan nilai OP, maka aksi kontrolnya adalah bersifat Direct. Dan, sebaliknya, jika nilai PV naik melebihi nilai SP dan controller malah menurunkan nilai OP, maka aksi kontrollnya adalah bersifat Reverse.

Untuk memahami dua phenomena diatas, mari kita lihat contoh dibawah ini
Simple Loop Example for Control Action
Perhatikan, pada contoh 1 dan 2, kita memiliki jenis pompa yang sama, yakni pompa untuk mentransfer diesel. Namun, hal yang membedakan antara dua contoh tersebut adalah jenis kontrol yang digunakan. Pada contoh 1, ia menggunakan jenis kontrol tekanan lewat transmitter PIC-531, sedangkan pada contoh 2, ia menggunakan jenis kontrol terhadap aliran lewat transmitter FIC-502.

Pertanyaannya adalah: 
Mengapa pemilihan jenis controlled variable harus dibuat berbeda, meskipun pada akhirnya manipulated variablenya adalah sama, yakni aliran recycle diesel? 

Tentu hal ini kembali lagi kepada process philosophy. Pada contoh 1, end-user dari pompa diesel tersebut adalah Main Power Generator. Diesel yang ditransfer ke dalam Main Power Generator akan langsung masuk ke dalam combustion chamber. Oleh sebab itu, ia membutuhkan tekanan agar diesel yang masuk bisa teratomisasi sehingga didapatkan pembakaran yang sempurna. 
Pada contoh 2, end usernya adalah alat-alat berbahan bakar diesel yang menggunakan diesel tanpa memerlukan adanya tekanan. Pompa diesel pada contoh 2 umumnya digunakan secara intermittent karena tiap alat yang menjadi end-user dari contoh 2 memiliki tanki penyimpan masing-masing. Pompa diesel pada contoh 2, hanya akan dinyalakan dalam rangka make-up tangki penyimpan tersebut. Dalam satu waktu, tidak mungkin kita akan melakukan make-up untuk semua tangki penyimpan tersebut, mungkin hanya untuk satu dan dua end-user. Sedangkan, pompa didesain dengan kapasitas untuk mentransfer ke seluruh end-user. Maka, dibuatlah jalur re-sirkulasi yang berdasarkan atas jumlah aliran yang menuju ke end-user. Harapannya adalah agar pompa selalu bekerja dalam posisi kurva karakteristik yang optimal sehingga bisa memperpanjang umur pompa.

Setelah tahu mengenai filosofi proses, maka perintah selanjutnya: 
tentukanlah aksi kontrol pada pompa contoh 1 dan 2!


Jawabannya adalah pada contoh 1 bersifat DIRECT dan pada contoh 2 bersifat REVERSE. Pada contoh 1, ketika tekanan melebihi dari SP, maka control valve akan mulai membuka dan pada contoh 2, ketika aliran berlebih dari SP, maka control valve akan mulai menutup.

bersambung ...

Monday, September 11, 2017

Plant Operation, part-2

Mode operasi dari controller, dibagi menjadi tiga, yakni AUTO, MANUAL dan CASCADE. Dalam tiga mode operasi tersebut, parameter yang menjadi perhatian kita :

-          Set Point (SP)               è Nilai yang diinginkan dalam sebuah kontrol terhadap sebuah operasi
-          Process Variable (PV)  è Nilai yang didapatkan dari hasil pembacaan sebuah alat pengukur
-          Output Parameter (OP) è Nilai yang digunakan untuk menentukan besaran manipulated variable

      Nilai OP ini bisa didapatkan dari hasil perhitungan algoritma controller atau ditentukan dari adjustment yang dilakukan oleh operator. Hal ini ditentukan berdasarkan jenis mode operasi yang kita pilih.

AUTOMATIC Mode (AUTO)

 
Gambar diatas merupakan salah satu contoh closed loop dengan menggunakan mode AUTO. Dalam mode AUTO, operator hanya bisa mengubah nilai SP. Nilai OP akan dihitung secara otomatis berdasarkan hasil perhitungan algoritma yang dilakukan oleh internal controller.

MANUAL Mode (MAN)


Gambar diatas menunjukkan mode operasi MANUAL. Dalam mode operasi MAN, operatorlah yang akan mengatur besaran dari OP. Hal ini berarti kita tidak menggunakan algoritma yang dihasilkan oleh controller. Diatas disebut sebagai “broken algorithm”. Operasi MAN diperlukan jika kita ingin mengontrol secara langsung control valve pada sebuah nilai yang spesifik yang tidak bisa kita capai, misalnya dikarenakan proses upset atau untuk mencapai set point tertentu dalam rangka start-up. Dalam kondisi tersebut, kontrol secara MAN sangatlah dianjurkan untuk mendapatkan kondisi steady. Setelah kondisi steady tercapai, maka controller bisa diubah posisinya menjadi AUTO.

CASCADE Mode (CAS)


Dalam mode operasi CAS, kita bisa melihat dua buah controller yang tersambung satu dengan lainnya. Fungsi cara kerjanya adalah mengontrol satu variable dengan cara memanipulasi variable yang lain. Controller yang pertama disebut sebagai Master atau Primary Controller yang bertanggung jawab untuk mengatur controlled variable. Master beroperasi secara AUTO dan akan mengirim OP hasil operasi algoritme ke controller kedua yang disebut sebagai Slave atau Secondary Controller. Nilai OP pada Master akan menjadi SP pada Slave yang digunakan untuk mengatur manipulated variable. Saat mode CAS ini aktif, operator hanya bisa mengatur SP pada Master dan Slave pada mode CAS tidak akan bisa menerima signal apapun dari operator. Mode CAS ini biasanya diterapkan untuk mendapatkan action yang cepat.

Untuk menjaga agar proses berjalan dengan smooth dan safe, selain daripada beberapa mode operasi yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah controller juga memiliki fitur-fitur dalam rangka untuk memudahkan operator dalam menjaga stabilitas operasi dalam sebuah plant. Ini akan dikupas dalam tulisan selanjutnya.

Thursday, September 7, 2017

Plant Operation, part-1

Operasi plant dikendalikan dalam sebuah ruangan yang dinamakan control room. Control room berisi seperangkat sistem yang biasa disebut sebagai integrated control and safety system (ICSS), yang berfungsi untuk memonitor, mengatur dan menyimpan data sehingga operasi dalam plant bisa berjalan dengan smooth dan safe.

Sistem control yang dipakai dalam control room biasanya adalah distributed control system (DCS). Selain DCS, juga terdapat Fire & Gas System (FGS) dan juga Emergency Shut Down (ESD) system. Ketiga sistem ini merupakan bagian yang membentuk ICSS yang mempunyai fungsi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jika DCS berfungsi untuk mengkontrol sistem, fungsi dari ESD adalah men-shutdown sebuah sistem apabila parameter operasi melewati batas setting maksimum yang diperbolehkan, yang dalam bahasa sistemnya disebut High High (HH) alarm atau Low Low (LL) alarm.

DCS dalam suatu sistem control akan selalu menjaga agar kondisi operasi selalu berada pada kondisi set pointnya. Jadi, adanya shut down dalam sebuah plant merupakan sebuah hal yang tidak kita inginkan. Shut down dalam sebuah plant selain terjadi akibat dari proses yang abnormal, juga bisa terjadi akibat sebab eksternal lain, misalnya kebocoran gas, adanya api atau asap yang terdeteksi dsb. Maka, shut down jenis ini dipicu dari F&G system. Adanya shut down ini selain memberikan alarm dan buzzer, juga akan tersimpan dalam memori, sehingga operator dapat dengan mudah mendeteksi penyebab terjadinya shut down. Untuk level shut down yang memiliki tingkat lebih tinggi, adanya shutdown bisa mengaktifkan sistem Public Address and General Alarm (PAGA) sehingga kondisi darurat bisa didengar oleh semua pekerja agar supaya mereka cepat melakukan evakuasi.

Dalam DCS, kita mengenal istilah Closed Loop System. Closed Loop system adalah sebuah cara pengontrolan sebuah parameter secara otomatis tanpa intervensi dari operator. Hal ini bisa terjadi karena dalam sistem closed loop memiliki sebuah controller yang berfungsi untuk meminimalisir error yang diakibatkan oleh gangguan dalam proses. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat gambar berikut :
Closed Loop System
Skematik diatas merupakan contoh sebuah closed loop sistem yang berfungsi untuk mengendalikan suhu air dalam sebuah heat exchanger. Jadi, suhu air merupakan sebuah controlled variable. Karena suhu air merupakan controlled variable, maka dia harus memiliki sebuah alat untuk mengukur derajat naik dan turunnya suhu. Dari gambar diatas, kita bisa mengetahui, bahwa suhu diukur dengan menggunakan thermal sensor. Thermal sensor ini merupakan measurement device yang akan memberikan feedback signal ke controller. Controller akan membandingkan nilai feedback signal tersebut dengan setpoint yang telah kita masukkan. Controller akan menggunakan algoritma untuk menghitung nilai error dan menghasilkan signal output yang akan dikirim kepada actuator, dalam hal ini adalah solenoid yang terdapat pada steam control valve. Steam control valve akan ter-energized dan mengizinkan udara instrument untuk masuk ke dalam control valve dan memberikan energi sehingga kita bisa melihat stem control valve tersebut bergerak. Gerakan dari stem tersebut akan mengatur masuknya steam kedalam heat exchanger yang dapat mempengaruhi naik turunnya suhu. Maka dari itu, steam disebut sebagai manipulated variable yang berfungsi untuk menjaga agar controlled variable bisa tetap stabil.

Untuk bagian selanjutnya, kita akan membahas lebih khusus mengenai mode operasi dari controller

Monday, September 4, 2017

Kolom Pemisah -part 5 (Last)

Dalam mengoperasikan sebuah kolom pemisah, kita harus menjaga keseimbangan antara uap yang naik dengan cairan yang jatuh dalam sebuah kolom. Keseimbangan ini diperlukan karena apabila kita tidak dapat mempertahankannya, dapat membuat operasi menjadi tidak stabil dan derajat pemisahan yang kita inginkan tidak bisa kita dapatkan. Untuk menggambarkan lalu lintas antara uap dan cairan melewati sebuah kolom packing atau tray, kita biasa menggunakan istilah loading.

Dalam sebuah kolom tray, vapor loading menggambarkan jumlah aktual aliran uap yang naik ke sebuah tray, dan sebaliknya liquid loading menggambarkan jumlah aktual aliran cairan yang jatuh ke sebuah tray.

Sebagai sebuah alat yang didesain untuk bekerja secara counter-current, kita harus bisa mengestimasi vapor dan liquid loading dan rasio dua parameter tersebut. Bayangkan, jika uap yang naik ke atas kolom ratenya terlalu tinggi, hal ini bisa menyebabkan peristiwa entrainment atau terjebaknya cairan dalam aliran uap dan membuat pemisahan tidak terjadi dengan baik.

Pada gambar dibawah, kita memiliki sebuah sistem pemisah yang berfungsi untuk memisahkan campuran biner alcohol dan air. Alkohol akan keluar sebagai distillat dan air akan keluar sebagai bottom product. Kolom pemisah didesain dengan memiliki reboiler dan juga total refluks.

Perhatikan gambar skema diatas: kita bisa mengetahui bahwa beban kerja (duty) dari reboiler dikontrol oleh temperature recorder control (TRC). Jika suhu bottom product turun, maka control valve steam akan otomatis terbuka dan menaikkan kapasitas reboiler. Hal ini berakibat akan semakin banyaknya uap terproduksi. Dalam kata lain, beban kerja condenser semakin besar dan rate refluks akan semakin bertambah. Untuk menjaga agar level refluks drum tetap stabil, maka level recorder control (LRC) dipasang untuk mengatur seberapa banyak distilat yang keluar dari kolom pemisah melalui kontrol valve tersebut.

Dari uraian diatas, dua poin dapat kita simpulkan :
1.      Duty condenser proporsional dengan duty reboiler.
Semakin besar duty reboiler maka akan semakin besar panas yang harus dipindahkan oleh condenser. Sebagian besar beban panas reboiler digunakan untuk menghasilkan refluks. Dengan kata lain, produksi refluks akan turut bertambah seiring meningkatnya kapasitas reboiler.
2.      Faktor satu-satunya yang mengontrol aliran uap adalah panas. Aliran uap naik ke atas kolom pemisah diciptakan oleh reboiler.

Jika kita asumsikan bahwa reboiler bekerja berdasarkan kontrol suhu otomatis, maka setiap kenaikan laju refluks akan menaikkan loading uap dan cairan dalam tray. Hal ini akan menaikkan total hilang tekan (dp) tray dan juga ketinggian cairan dalam downcomer tray.

Menaikkan kerja reboiler akan menaikkan laju massa uap dan konsentrasi komponen berat dalam uap. Meskipun demikian, suhu dalam dasar kolom akan selalu konstan. Hal ini dikarenakan naiknya duty reboiler akan direspon dengan naiknya refluks yang juga berfungsi untuk mendinginkan.
Pengaturan kinerja reboiler bukanlah satu-satunya parameter yang harus kita jaga dalam menjalankan kolom pemisah. Satu lagi hal penting yang bisa mempengaruhi kinerja kolom pemisah adalah tekanan dalam kolom pemisah. Laju volumetrik uap bisa bertambah ataupun berkurang sesuai dengan setting tekanan dalam kolom pemisah pada beban kerja reboiler yang konstan. Hal ini berarti, kita bisa mengubah kecepatan uap (dengan kata lain vapor loading) melewati tray pada laju massa yang sama.


Jika kita menaikkan tekanan dalam kolom, otomatis kecepatan uap akan berkurang. Hal ini akan menurunkan hilang tekan dalam melewati tray, sehingga ketinggian spray atau lompatan uap-cair akibat kontak di atas tray berkurang dan liquid backup di downcomer juga berkurang. Hal ini mencegah terjadinya entrainment, namun menambah potensi untuk menyebabkan peristiwa weeping. Gambar kiri menunjukkan kecepatan uap yang rendah, dan gambar kanan menunjukkan kecepatan uap yang tinggi.

Dampak positif dari menaikkan tekanan kolom adalah bertambahnya laju refluks. Hal ini bisa terjadi karena dengan menaikkan tekanan kolom, maka tekanan dalam reflux drum juga akan bertambah. Hal ini mengakibatkan, suhu yang diperlukan untuk mengkondensasikan uap menjadi turun akibat back pressure. Sehingga laju terbentuknya refluks menjadi bertambah.
Gambar diatas digunakan sebagai acuan untuk mendapatkan kondisi optimal dalam menjalankan sebuah kolom pemisah. Titik A merupakan kondisi dimana pemisahan terjadi secara efisien. Lepas dari titik tersebut, efisiensi pemisahan menjadi berkurang karena terjadi flooding/ dumping yang menyebabkan banyaknya fraksi berat yang dikandung dalam distilat.

Tes untuk Membedakan Flooding atau Dumping pada Waktu Alat Beroperasi
1.      Menurunkan tekanan kolom pada laju refluks konstan/ beban reboiler konstan
Lihat perbedaan suhu antara dasar dan puncak kolom. Jika perbedaannya semakin besar, atau suhu atas kolom turun, maka efisiensi tray dikarenakan adanya peristiwa dumping pada dek tray
2.      Menaikkan laju refluks pada kolom operasi konstan
Jika laju refluks dinaikkan dan suhu puncak kolom menjadi naik, maka terjadi peristiwa flooding atau entrainment berlebihan. Untuk mengetahui bagian tray mana yang mengalami flooding, maka pengecekan terhadap nilai delta P harus dilakukan untuk mengetahui tray mana yang tidak berfungsi dengan baik. Jika delta P besar, maka flooding terjadi pada bagian bawah tray atau pada bagian stripping. Jika delta P rendah, maka flooding terjadi pada bagian atas tray atau pada bagian rectifying.

Tentu saja masih banyak hal yang perlu dipelajari. Tetapi, paling tidak pembelajaran kita selama ini, bisa dijadikan sebuah dasar fondasi yang kuat yang bisa kita olah sehingga akan sangat dapat membantu kita dalam pengoperasian sebuah kolom pemisah.