Thursday, November 30, 2017

Petroleum Resource Management, Milestone Pengembangan Lapangan Jangkrik, bagian-1

Kita telah melihat bagaimana sebuah siklus dari kegiatan “Exploration and Production” pada tulisan sebelumnya. Mari kita lihat contoh nyata penerapan dari kegiatan “Exploration and Production” yang dilakukan di Indonesia dengan mengambil contoh pada Pengembangan Wilayah Kerja Jangkrik yang baru saja diresmikan baru-baru ini.

Mengacu pada bagan sekuen milestone pengembangan wilayah kerja Jangkrik diatas, berikut akan dijelaskan sebagaimana berikut:
  • 2002, merupakan awal dari ditunjuknya ENI selaku operator blok Muara Bakau. Wilayah Muara Bakau meskipun tidak cukup dekat dengan Mahakam sebagai penghasil gas, tetapi masih berada dalam satu zona yang bisa jadi memiliki struktur penyusun lapisan tanah yang sama. Selain itu, blok tersebut terletak di laut dalam. Maka, prospek adanya migas cukup tinggi didukung oleh letak secara geologis. Tetapi, kita masih belum mengetahui apakah memang terdapat migas. Maka, ENI selaku operator melakukan kegiatan eksplorasi dimulai pada tahun ini.
  • 2009, ditemukan migas pada blok Muara Bakau. Tujuh tahun diperlukan hingga first discovery. Jadi, kita baru mengetahui bahwa memang ada migas di WK tersebut setelah kegiatan eksplorasi selama tujuh tahun. Seberapa banyak cadangan migas di blok tersebut? Apakah komersial untuk dikembangkan? Perlu penelitian lebih lanjut melalui kegiatan delinasi atau appraisal well untuk memetakan migas dalam lapisan bumi tersebut.
  • 2011, dua tahun setelah first discovery. Setelah melakukan proses pendeskripsian ternyata memang lapangan tersebut komersil. Maka disusunlah Plan of Development I yang disetujui oleh pemerintah dan uniknya, diketemukan lagi migas yang berada sekitar 20 Km sebelah timur lapangan Jangkrik, disebut dengan lapangan Jangkrik North East.
  • 2013, disetujui Plan of Development (POD) untuk pengembangan lapangan Jangkrik North East. Jadi, ENI sebagai operator mengajukan dua kali POD. Namun, pengembangan lapangan Jangkrik North East masihlah merupakan integrasi dengan POD sebelumnya. Jadi, masih merupakan bagian dari proyek tunggal yang dinamakan “Proyek Komplek Jangkrik” atau dalam bahasa Inggrisnya Jangkrik Complex Project.
  • 2014, merupakan dimulainya pengembangan wilayah Jangkrik. Meliputi kegiatan engineering dan procurement dengan membuat fasilitas produksi terapung, yakni berbentuk sebuah kapal yang diatasnya terletak fasilitas produksi untuk mengolah minyak, dinamakan "Floating Production Unit" atau FPU Jangkrik. Selain itu, kita juga mengetahui bahwa kegiatan pengeboran untuk sumur produksi juga dilakukan pada tahun yang sama. Kontruksinya sendiri mulai pada Q4 yang dimulai dengan Steel Cut Ceremony di Tanjung Balai Karimun. Perlu diketahui Top Module yang merupakan fasilitas produksi dan Hull yang merupakan kapal dikerjakan oleh kontraktor berbeda. Untuk Top Module dikerjakan di Indonesia, sedangkan Hull dikerjakan di Korea Selatan. Selain itu, juga dilakukan pembangunan di dekat lokasi blok Muara Bakau yakni Receiving Facility yang berada di darat karena gas akan dialirkan dari kapal menuju ke darat untuk kemudian diteruskan ke user. Receiving facility ini biasanya dilengkapi dengan metering untuk mengukur jumlah gas yang dialirkan.
  • 2015, konstruksi Hull dilaksanakan di Korea Selatan.
  • 2016, Hull telah selesai dikerjakan di Korea Selatan dan dikirim ke Indonesia untuk diintegrasikan dengan Top Module. Oleh karena itu disebut sebagai Floating Production Unit (FPU) atau unit produksi terapung. Pada tahun itu juga, 10 sumur telah selesai dibor dan dikomplesi. Artinya, sumur sudah siap untuk berproduksi.
  • 2017, FPU dikirim ke Selat Makassar pada bulan Maret dan first gas in pada akhir Mei. Terjadi proses Ramp-Up hingga mencapai 600 MMSCFD pada bulan Oktober. Dibutuhkan waktu lima bulan untuk mencapai kondisi plateu atau peak production 
Ini adalah contoh sukses nyata dari siklus E&P yang dimulai dari adanya prospect migas hingga berlanjut menjadi pengembangan wilayah karena aspek komersil dan lain-lain telah terpenuhi.

Exploration and Production Life Cycle

Monday, November 27, 2017

Kontrak Kerjasama Migas : Konsesi dan Production Sharing Contract, -part 2

Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada tulisan sebelumnya, mari coba kita tengok gambar diagram dibawah ini :


Gambar diatas menunjukkan tren investasi di bidang migas pada tahun 2010-2015 yang dihimpun oleh IFPEN, sebuah institusi pendidikan prancis dalam bidang perminyakan dan energi terbarukan. Dari data tersebut, bisa kita lihat bersama prediksi dari para analis migas yang memperkirakan bahwa pada tahun 2015, investasi migas akan terus naik hingga menyentuh angka 762 milyar dolar. Faktanya, malah terjadi penurunan sebesar 30 persen pada tahun tersebut. Jadi, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa nyatanya analis migas tidak bisa memprediksi secara tepat mengenai perkembangan investasi migas.

Apa penyebab turunnya investasi migas di tahun 2015 tersebut? 
Lagi-lagi yang menyebabkan adalah harga jual migas. Ilmu ekonomi yang sederhananya adalah pengaruh supply and demand. Kita mengetahui harga migas meroket pada rentang tahun 2010 hingga akhir 2013. Tercatat, harga migas mencapai lebih dari 100 dolar perbarel sebelum akhirnya nyungsep akibat melimpahnya minyak yang berasal dari produsen minyak unkonvensional.

Ada sisi menarik yang bisa kita cermati ketika melihat transisi harga migas yang tadinya meroket kemudian jatuh bebas tersebut yang kaitannya dengan perilaku para pelaku migas. Ketika harga minyak masih tinggi, otomatis hal ini akan menarik banyak investor untuk berinvestasi. Maka, otomatis, nilai investasi migas akan naik dan membuat bisnis migas menjadi ramai. 
Hal ini serta merta akan mendorong biaya pengeluaran menjadi semakin mahal, misalkan naiknya harga sewa alat, naiknya jasa manpower dan sebagainya. Lagi-lagi, ini perkara supply and demand. Namun, mengingat harga minyak yang tinggi, secara tidak langsung akan membuat potensi suatu wilayah kerja menjadi lebih mudah untuk dikembangkan. Berapapun besar biaya yang dikeluarkan, jika dihitung, kecenderungan cashflow-nya akan positif karena didukung dengan tingginya harga migas. Maka, suatu wilayah migas bisa naik menuju ke fase pengembangan. Ingat, migas adalah industri strategis dan negara juga membutuhkan migas untuk menopang segala aktifitasnya.

Jika memang dianggap komersil dilihat dari jumlah cadangan terbukti dan didukung oleh harga migas yang tinggi, maka cost recovery harus dilaksanakan oleh negara dengan jumlah yang naik berkali lipat karena kondisi harga migas yang tinggi memicu pengeluaran yang juga tinggi untuk melakukan eksplorasi. Toh, jika secara hitung-hitungan cashflow-nya masih positif, maka berapapun biaya yang dikeluarkan akan kembali -break even point. Namun, hal ini menimbulkan polemik ketika harga migas mengalami fluktuasi naik-turun, meskipun dalam hitungan tahun. Salah prediksi bisa menimbulkan sebuah hal yang bisa membahayakan. Cost recovery pun bisa menjadi buah simalakama dalam rangka menyikapi harga migas yang tidak stagnan tersebut. Bisa kita lihat contohnya seperti yang terjadi di Venezuela

Jadi, jangan salah ketika banyak pelaku migas juga memonitor pergerakan harga migas karena hal ini turut menentukan masa depan mereka. Saya memiliki seorang teman yang bekerja dalam bidang pengeboran yang terpaksa harus diberhentikan karena sepinya proyek akibat harga migas turun. Kita bisa lihat bahwa migas merupakan sebuah industri yang strategis, namun disisi lain, ketergantungan negara akan penghasilan dari migas bisa membawa sebuah dampak yang negatif. 

Pemerintah Indonesia pada tahun 2017, mengembangkan skema baru PSC yang disebut sebagai Gross Split. Gross split menghilangkan cost recovery dan pemerintah mendapatkan hasil berdasarkan perjanjian persentase jumlah produksi kotor. Segala biaya yang dikeluarkan oleh Kontraktor KKS menjadi tanggung jawab kontraktor KKS. Yang pasti, jatah pemerintah ada dan tetap menurut persentasi hasil produksi. 

Sederhanya, jika bagi hasil 50 : 50, hasilnya dua, maka satu untuk pemerintah. Jika hasilnya 10, maka lima untuk pemerintah.

Penentuan Gross split berdasarkan beberapa ketentuan variabel yang akan menentukan berapakah share yang diterima oleh pemerintah. Bisa saja nilai share pemerintah lebih kecil ataupun lebih besar tergantung daripada kondisi wilayah kerja.


Dengan tidak adanya penghitungan cost recovery, diharapkan lebih mempercepat proses pengembangan suatu wilayah kerja karena tidak ada hitung-hitungan cost recovery. Oleh karena itu, hal ini membuat administrasi menjadi lebih mudah dan kontraktor diharapkan bisa lebih efisien dalam pengeluaran sehingga diharapkan bisa menggunakan produk lokal. 

Tetapi, akankah gross split ini menarik dimata investor? Mengingat semua biaya akan dibebankan di tangan investor ditengah turunnya harga migas saat ini. Di sisi lain, melalui gross split ini, NOC secara tidak langsung akan dituntut untuk bisa mengelola migas secara lebih mandiri. Migas adalah industri strategis yang sumbangan terhadap kedaulatan negara cukup besar. Jika NOC belum memiliki kemampuan, maka akan diserahkan kembali kepada IOC, tentu saja ketergantungan ini akan membuat IOC lebih memiliki nilai tawar yang bisa membuat kebijakan ini bisa berpotensi untuk mengalami perubahan di masa depan.

Monday, November 13, 2017

Kontrak Kerjasama Migas : Konsesi dan Production Sharing Contract, -part 1

Tulisan kali ini menjelaskan mengenai jenis kontrak kerjasama Migas untuk melengkapi pemahaman kita akan siklus hidup kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Apa yang akan ditampilkan dalam tulisan ini merupakan slide presentasi yang dibawakan oleh executive advisor dari SKK Migas, namun tidaklah secara penuh mewakili perspektif dari intitusi.

Presentasi tersebut bisa didownload disini

Dalam pengelolaan sebuah pertambangan, pemerintah menggandeng pihak lain, bisa jadi swasta ataupun BUMN yang bisa memiliki bentuk kontrak kerjasama bermacam-macam. Macam perjanijian antara pemerintah dengan pihak lain (kontraktor) dibagi menjadi tiga macam, yakni :

1. Concession
2. Production Sharing Contract
3. Service Contract

Alur skematik bentuk kontrak kerjasama tersebut bisa dilihat pada gambar dibawah ini :


Bentuk kerjasama concession atau konsesi adalah bentuk yang terlebih dahulu ada dalam pengelolaan migas. Konsesi adalah bentuk kontrak perjanjian dalam industri migas antara negara dengan operating company untuk mengeksplorasi sumber daya migas.

Perusahaan yang beroperasi, baik bisa satu badan ataupun berbentuk konsorsium, harus membeli lisensi untuk bisa mengeksplorasi sebuah wilayah kerja. Selain itu, keuntungan pemerintah juga didapat dari biaya konsesi yang jumlahnya berdasarkan jumlah dan kualitas migas yang diproduksi, yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada negara yang penentuan harganya telah ditetapkan pada saat penandatanganan konsesi.

Pada prakteknya, negara produksi akan menerima biaya konsesi ini tidak bergantung pada untung maupun ruginya operating company. Semua biaya dan resiko diserahkan kepada operating company, termasuk juga keuntungan. Jatah untuk pemerintah akan selalu ada. 

Yang menjadi polemik antara negara produksi dengan operating company adalah harga migas yang fluktuatif yang bisa menyebabkan kontrak kerjasama menjadi tidak seimbang. Yakni, ketika harga migas melonjak tajam hingga mencapai 100 dollar per barrel, sedangkan biaya konsesi tetap karena sudah ditentukan diawal

Kenapa hal ini menjadi sangat penting?

Ingat, migas adalah komoditas strategis. Semua negara pasti butuh migas untuk menunjang kegiatan perekonomiannya. Jadi, negara juga harus bisa memproduksi migas. Jika belum bisa mencukupi kebutuhannya, negara harus membeli/ mengimpor dari pihak lain. Harga migas yang tinggi, tanpa adanya subsidi pemerintah, akan menyebabkan inflasi. Sementara, keuntungan yang didapat dari suatu wilayah kerja migas masihlah tetap. Akibatnya, bisa terjadi defisit anggaran. Uang yang harusnya dibuat untuk pembangunan, harus dialokasikan sebagai subsidi untuk mencegah inflasi.

Hal ini tentu saja memicu negara produksi untuk melakukan re-negoisasi yang tentunya akan sulit untuk diterima operating company. Hal ini dikarenakan, tidak hanya akan mengurangi margin keuntungan operating company yang naik, tetapi juga tidak adanya jaminan bahwa biaya konsesi baru bisa direvisi kembali ketika harga migas turun selama sisa periode konsesi. 

Naiknya harga migas secara signifikan dan juga sangat berfluktuasi bergantung pada banyak faktor. Hal ini dipandang tipe kontrak konsesi tidaklah fleksibel, dan beralih pada sistem perjanjian kontrak yang lain. Salah satunya adalah production sharing contract (PSC).

PSC merupakan jenis perjanjian terkait pembagian persentasi hasil produksi migas antara pemerintah dan pihak lainnya yang terlibat, yang biasa disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS). Hal ini bisa dilakukan kalau pemerintah juga terlibat dalam kegiatan industri migas tersebut. Maka, untuk menunjang hal tersebut, ditunjukklah National Oil Company (NOC), misalkan Pertamina, Saka Energi, dan sebagainya untuk ikut serta sebagai bagian dari kontraktor KKS yang memilki participacing interest dalam pengelolaan suatu wilayah kerja bersama dengan International Oil Company (IOC). Dengan demikian, adanya transfer pengetahuan ke NOC oleh IOC dan juga adanya beberapa kontrol terhadap pengembangan wilayah kerja menjadi fungsi lain dari perjanjian PSC ini. Kelak, jika kontrak KKS sudah habis dan wilayah kerja masih produktif, maka NOC bisa didorong untuk menggantikan peran IOC.

Peran IOC lebih dominan dalam menentukan keputusan terkait strategi pada waktu fase eksplorasi. Dalam fase development, peran NOC mulai terlibat dan dalam pengoperasian diharapkan mulai ditunjukkan kontribusi lebih NOC dalam pengelolaan suatu wilayah kerja. Dalam menjalankan PSC ini, Indonesia pernah melakukan dengan menggunakan dua cara, yakni dengan menggunakan sistem cost recovery (pengembalian biaya) dan gross split yang digunakan pada tahun 2017.

Mari kita lihat skematik dibawah ini untuk melihat kedua perbedaan antara PSC gross split dan juga cost recovery:


Pada skema PSC cost recovery, hasil migas harus dipotong untuk pengembalian investasi sebelum menjadi profit oil atau keuntungan yang di-share antara pemerintah dan kontraktor. Meskipun, persentase pemerintah besar dalam pembagian tersebut, bisa jadi secara keseluruhan akan menjadi kecil karena pemerintah harus membayar cost recovery kepada kontraktor KKS. Maka dari itu, skema cost recovery dipandang bisa menjadi perdebatan dan kesalahpahaman akibat biaya-biaya apa saja yang bisa masuk dalam cost recovery. 

Terbukti, bisa lihat contoh kasusnya dalam tautan berikut : 

Hal ini tentu saja menimbulkan sesuatu yang kontra-produktif. Namun, pada skema cost recovery perlu diketahui bahwa hanya wilayah kerja yang dinilai komersilah yang akan mendapatkan cost recoveryPertanyaan yang mungkin timbul adalah apa yang menentukan suatu wilayah kerja bernilai komersil? Apakah semata-mata hanya mengandalkan jumlah cadangan migasnya yang terbukti berlimpah? 

Kita layaknya harus kembali lagi kepada hal yang menyebabkan perubahan kontrak dari konsesi ke tipe PSC. Hal ini juga mendasari perubahan PSC tipe cost recovery menjadi gross split.


bersambung ...

Monday, November 6, 2017

Petroleum Engineering – Life Cycle Exploration and Production -part 2 last

Industri Migas adalah industri yang sangat menguntungkan dan juga sangat beresiko tinggi, maka dari itu keputusan untuk mendapatkan FID sangatlah sulit hingga perubahan yang sangat drastis harus dilakukan untuk menurunkan resiko tersebut. FID merupakan dokumen rahasia perusahaan. Di dalamnya terdapat banyak hal, baik segi teknikal maupun finansial, mulai dari struktur pembiayaan, nilai CAPEX dan OPEX, persetujuan harga jual migas, rasio pengembalian modal, basic design untuk facility, proses dan sebagainya hingga perkiraan produksi. FID berdasar pada plan of development (POD) yang telah disetujui oleh pemerintah.


Fase Development (Pengembangan)

Jika FID telah disetujui, maka kita akan naik pada tahap selanjutnya yakni tahap development. Kita biasa menyebut fase ini dengan istilah Engineering, Procurement dan Construction (EPC). Fase ini merupakan tahap eksekusi projek dimana desain dasar akan didetailkan, equipment akan dibeli dan kegiatan konstruksi dilakukan hingga plant bisa beroperasi dan berproduksi secara komersial.

Pekerja proyek Migas - Cepu Block
Pada tahap ini kontraktor KKS akan melakukan tender atau direct offer kepada service company untuk melakukan kegiatan EPC ini. Beberapa contoh service company seperti Rekind, Tripatra, JGC Indonesia, maupun asing seperti Saipem, Samsung Engineering dan sebagainya. Biasanya service company atau lebih spesifik kita sebut sebagai EPC company ini akan membentuk sebuah konsorsium dengan campuran antara EPC lokal dan asing yang pembagian porsi pekerjaannya sesuai dengan agreement. Contoh yang selama ini terjadi misalnya, untuk equipment yang bisa dibuat secara lokal, misalkan tangki maupun vessel biasanya akan dikerjakan oleh EPC lokal, sedangkan alat-alat paket misalkan kompresor akan diserahkan kepada EPC asing. Ini dimaksudkan karena dalam kontrak biasanya disebutkan bahwa suatu proyek harus memiliki porsi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam jumlah tertentu sebagai upaya untuk melibatkan industri domestik. 

Kadangkala, kita akan menemukan dalam desain engineering beberapa alat yang dibangun pada kondisi yang akan datang (future) mengikuti perkembangan sumur. Misalkan, Future Booster Compressor yang baru dipasang pada periode tiga - lima tahun setelah plant beroperasi. Hal ini dikarenakan sumur telah kekurangan energi untuk bisa mengekstrak hidrokarbon. Maka diperlukan sebuah modifikasi untuk bisa mempertahankan volume produksi. Hal semacam ini banyak kita lihat pada wilayah kerja yang sudah mature yang biasa disebut secondary recovery.

Rencana pengembangan berisi jumlah sumur yang harus dibor untuk mendapatkan tingkat produksi yang diinginkan, cara untuk mengekstrak fluida dari reservoir, cara separasi minyak dan gas, sistem treatment untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan, survey terhadap lingkungan sekitar misalkan curah hujan, cuaca, kualitas air dan masih banyak hal lainnya. Tahap pengembangan ini bisa berlangsung antara 3 – 6 tahun sesuai dengan lokasi, jenis migas dan juga skala produksi. Pada akhir tahap ini, kegiatan produksi migas bisa dimulai, yang dikenal dengan sebutan “first oil”

Fase Production (Produksi)

First Oil ini merupakan kegiatan yang juga penting yang menandakan awal mula suatu wilayah kerja bisa menghasilkan produk yang komersil. Pada first oil ini, pemerintah dan kontraktor KKS memperoleh bonus yang disebut sebagai first tranche petroleum (FTP) sebesar 20% dari jumlah produksi yang dibagi sesuai kontrak sebelum dikurangi oleh biaya-biaya lain. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk medapatkan porsi keuntungan dari pengembangan wilayah kerja yang dilakukan karena selanjutnya hasil dari produksi digunakan untuk menutup biaya investasi yang telah dikeluarkan. Selain itu, first oil ini juga memiliki arti penting bagi kontraktor KKS untuk menunjukkan bahwa perusahaannya merupakan perusahaan yang prospektif di mata investor karena sudah mampu berproduksi.

Waktu produksi dari sebuah wilayah kerja bisa bervariasi antara 15 hingga 30 tahun dan bisa diperpanjang hingga mencapai 50 tahun atau lebih sesuai dengan besarnya reservoir yang ditemukan. Beberapa fase produksi yang dilalui sebuah wilayah kerja dirangkum sebagai berikut:
  • Ramp-up è Kegiatan awal produksi bisa disebut sebagai kegiatan “start-up” dimana akan dilakukan ramp-up atau penaikan jumlah produksi sesuai dengan desain.
  • Plateau   è Fase produksi selanjutnya dikenal dengan tahap stabilisasi atau dikenal dengan sebutan “plateau”. Tahap ini berhubungan dengan produksi maksimum yang bisa dihasilkan oleh sebuah wilayah kerja.  
  • Injection phase è Pada tahap ini telah dilakukan injeksi terhadap reservoir yang digunakan untuk membantu perolehan hidrokarbon dari dalam sumur sehingga bisa untuk mempertahankan volume produksi. Beberapa diantaranya, melalui pumping, water flooding, dan sebagainya
  • Depletion          è Pada periode ini adalah akhir dari tahap produksi dimana terjadi penurunan produksi hidrokarbon secara progresif disebabkan volume hidrokarbon dalam reservoir telah berkurang sehingga plant tidak bisa dijalankan dan/ atau secara komersial tidak menguntungkan.

Production profile
Tahap akhir dari sebuah wilayah kerja adalah tahap restorasi atau abandonment. Yakni ketika produksi hidrokarbon sudah tidak komersial, maka reservoir harus ditinggalkan (abandonment) dan/ atau direhabilitasi. Abandonment bisa berlangsung antara satu hingga tiga tahun sesuai dengan besarnya instalasi.

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan minyak pada saat abandonment, seperti :
  • Membongkar fasilitas seperti platform
  • Meletakkan sumur pada kondisi yang aman, seperti pemasangan plug pada sumur yang sudah tak berproduksi
  • Membersihkan, menghilangkan polusi dan merehabilitasi site
Jika melihat dari berbagai macam tahap lifecycle sebuah wilayah kerja diatas, ironisnya kita hanya bisa mengerti secara penuh mengenai sebuah wilayah kerja pada bagian akhir dari siklus hidupnya

Sebuah reservoir migas tidak bisa kita ibaratkan sebuah tangki. Artinya kita bisa mengambil isinya dengan jumlah biaya energi yang sama hingga habis. Tetapi, ia lebih mirip dengan busa. Pada saat, busa masih mengandung banyak cairan, ia bisa mengeluarkan isinya tanpa kita perlu mengeluarkan banyak energi. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah cairan yang terkandung dalam busa tersebut berkurang. Maka dibutuhkan lebih banyak energi untuk bisa mengekstraksi kandungan cairan yang ada dalam busa dengan cara diperas. Ini identik dengan cara-cara oil recovery baik secara pumping dan sebagainya. Hingga akhirnya sebuah reservoir migas tidak bisa menguntungkan secara komersil karena biaya produksinya jauh lebih tinggi daripada harga jual. Sehingga untuk sumur-sumur tua, biaya produksinya juga relative tinggi. Tidak semua migas bisa diekstraksi dari dalam reservoir, kita kenal dengan sebutan recovery factor. Artinya adalah perbandingan antara migas yang bisa diekstrak dengan keseluruhan migas yang terkandung dalam sebuah reservoir.

Di lain hal, meskipun usianya bisa jadi sudah puluhan tahun, sumur-sumur tua bisa jadi masih berproduksi meskipun dipandang tidak komersil. Hal ini bisa terjadi karena banyak hal. Misalkan, karena biaya eksplorasi sumur baru terlalu tinggi dengan tingkat resiko yang juga tinggi, campur tangan pemerintah sebagai upaya strategis untuk menjaga kedaulatan energi, dan sebagainya Dampaknya secara tidak langsung adalah meskipun kita mengetahui bahwa migas merupakan sumber energi tidak terbarukan, tetapi tren perkembangan jumlah cadangan minyak global justru tambah mengalami kenaikan
Global crude oil reserves
Tentu saja hal ini sangatlah unik karena jumlah konsumsi migas yang terus naik dari tahun ke tahun harusnya malah membuat cadangan minyak berkurang. Namun ternyata tidak halnya demikian. Salah satu faktor yang berperan penting adalah faktor berkembangnya teknologi misalkan dalam hal ekstraksi minyak untuk reservoir unconventional dan juga semakin berkembangnya teknologi untuk ekstraksi minyak di laut dalam (deep offshore).